Sabtu, 15 Oktober 2011

Demokrasi dalam Perspektif Islam


Pendahuluan

            Di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin telah lama muncul sistem kehidupan yang bernama demokrasi dan telah diadopsi oleh hampir seluruh negeri-negeri Islam dan masyarakatnya. Sebagian menerimanya secara total tanpa reserve, sebagian mencoba mengkompromikannya dengan Syariat Islam, dan sebagian kecil lagi menolaknya mentah-mentah dan hanya menginginkan Syariat Islam saja yang diterapkan sebagai sistem kehidupannya.
Hakikat demokrasi yang sebenarnya adalah proses penetapan hukum di tengah-tengah manusia berdasarkan kehendak rakyat secara mayoritas. Ide demokrasi yang dikembangkan oleh Voltaire dan Montesquie dalam konteks kenegaraan ini sebenarnya telah menetapkan manusia sebagai pembuat hukum (Musyarri’), bukan Al Khaliq. Dalam format negara demokrasi, akan dianggap tidak demokratis kalau hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum Tuhan. Oleh karena itu, ide demokrasi ini sebenarnya adalah proses pemisahan agama dari negara (fashluddin ‘an dawlah). Falsafah Barat, the grand process of modernization, berpijak pada pemisahan masyarakat politik dari agama dan dari strukutur agama (uneklesastikal structure).
Bagi kaum Muslim, hakikat demokrasi seperti diatas sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kaum muslim untuk mengikuti syariat Allah. Dan menolak segala sistem hukum yang bertentangan dengan syariat-Nya. Kehati-hatian kita agar tidak terjerumus ke dalam apa yang dianggap kafir, dzalim, fasik oleh Allah merupakan sebuah keniscayaan. Jika seorang menerima hakikat demokrasi, seraya mengesampingkan hukum Allah atau membenamkan hukum Allah sebagai sebuah keusangan karena takut dikatakan tidak demokratis, maka pandangan ini dapat menjerumuskannya kedalam kekafiran, kedzaliman atau kefasikan.