Jumat, 23 Maret 2012

KEBENARAN, PENALARAN, DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IDEALISME

PENDAHULUAN
Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup. Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup iku menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.
Oleh karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar belakangpribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat. Aliran Idealisme/Spritualisme, yang mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia.
Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang mampu melandasi teori dan praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.


Teori dan praktek pendidikan memiliki spektrum yang sangat luas mencakup seluruh pemikiran dan pengalaman tentang tujuan, proses, serta hasil pendidikan. Pendidikan dapat dipelajari secara empirik berdasarkan pengalaman maupun melalui perenungan dengan melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Praktek pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendi­dikan akan memberikan manfaat antara lain: (1) Sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan tujuan yang akan dicapai; (2) Mengurangi kesalahan-­kesalahan dalam praktek pendidikan karena dengan memahami teori dapat dipilih mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan; (3) Sebagai tolok ukur untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan pendidikan.
Teori pendidikan yang berisikan konsep-konsep dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai pendekatan, antara lain pendekatan filosofi yang akan melahirkan pemahaman tentang filsafat pendidikan. Pendekatan filosofis terhadap pendidikan merupakan suatu pende­katan untuk menelaah dan memecahkan masalah pendidikan menggunakan metode filsafat. Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang terbatas pada pengalaman.
Dalam kegiatan pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan mendalam serta tidak terbatas oleh pengalaman indrawi maupun fakta-fakta sehingga tidak dapat dijangkau oleh ilmu pendidikan (science of education). Masalah-masalah tersebut antara lain adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta, namun pembahasannya tidak dapat dikaji hanya dengan menggunakan pendekatan sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam melalui filsafat.
Sejarah filsafat menunjukkan bahwa tidak hanya satu filsafat yang berkembang, melainkan banyak jenis aliran atau mazhab filsafat. Dalam filsafat ditemukan adanya aliran seperti idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme, eksistensialime, dan sebagainya. Dengan demikian, pendekatan filosofis dalam memaknai teori pendidikan akan didasari oleh berbagai aliran filsafat tersebut. Dalam mempelajari dan mengembangkan teori pendidikan perlu dipahami aliran-aliran filsafat yang melandasinya.
Kiranya kegiatan pendidikan tidak sekedar dipandang sebagai gejala sosial yang bersifat rasional semata akan tetapi ada sesuatu yang mendasarinya. Peranan filsafat dalam mendasari teori ataupun praktek pendidikan merupakan salah satu sumbangan berharga bagi pengembangan pendidikan. Dengan memperhatikan uraian di atas, salah satu pertanyaan yang muncul adalah: “Bagaimana aliran-aliran filsafat melandasi teori pendidikan?” Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan mengkaji pemikiran tentang teori pendidikan menurut aliran-aliran filsafat yang ada. Di antara sekian banyak aliran filsafat, kajian ini akan difokuskan untuk membahas pemikiran tentang teori pendidikan menurut aliran filsafat idealisme dan realisme.


Idealisme : Definisi, Sejarah, Tokoh-tokoh dan Pemikirannya
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh. Istilah idealisme diambil dari kata ideas, yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh atau jiwa, ide-ide atau pikiran atau yang sejenis dengan itu.[1]
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato, yang menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan sebenarny. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari idea itu. Aristoteles memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Pada zaman Aufklarung, para filsuf yang mengakui aliran serba-dua, seperti descartes dan Spinoza, yang mengenal dua pokok yang bersifat keruhanian dan kebendaan maupun keduanya. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme pada masa abad ke-18 dan 19, yaitu saat Jerman sedang memiliki penganut besar di Eropa. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677), Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1881), J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1755-1854), dan G. Hegel (1770-1831).[2]
Berbicara tentang filsafat, tidak bisa dilepaskan dari para pencetusnya. Filusuf yang sangat kita kenal dan dialah sebagai mbahnya filusuf. Yaitu Socrates. Ia hidup pada abad ke 6 sebelum masehi. Socrates menyebarkan pandangannya lewat lisan. Di mana pun ia bertemu dengan orang-orang pada saat itu, ia mengajaknya mengobrol ringan, hingga sampai pada pembicaraan yang berunsur ilmu pengetahuan. Oleh karena penyebarannya yang terbuka itulah, penguasa di wilayahnya tersebut marah. Karena Socrates dianggap sebagai orang yang membawa ajaran baru yang bertentangan dengan dewa dan undang-undang penguasa saat itu.
Akhirnya socrates dibunuh oleh penguasanya dengan cara dipaksa meminum racun. Sebagai penerusnya, kita kenallah dengan nama filsuf yang juga tidak kalah pentingnya dalam dunia perfilsafatan. Yaitu Plato. Plato hidup sekitar abab ke-5 sebelum masehi. Ketika Socrates masih hidup, satu-satunya murid yang paling setia adalah Plato. Yang kemudian telah menulis pemikiran-pemikiran sang gurunya, Socrates. Karena Socrates sendiri tidak pernah menuliskan pandangannya sendiri.
Sekitar hampir 20 tahun berguru dengan Socrates, Plato pun mulai memasuki seluk beluk bidang keilmuan. Terutama tentang alam atau makro kosmos. Dari sinilah kemudian muncul aliran filsafat yang kita kenal sekarang dengan aliran idealisme. Aliran ini adalah hak paten Plato. Plato beranggapan bahwa semua yang ada di alam ini adalah bayangan dari sesuatu yang sesungguhnya (realita).
Sejarah idealisme cukup berliku-liku dan meluas karena mencakup berbagai teori yang berkaitan. Idealisme ini ada tiga jenis, yaitu Idealisme Subjektif, Idealisme Objektif, Idealisme Personal.[3]
Menurut paham Idealisme bahwa yang sesungguhnya nyata adalah ruh, mentalatau jiwa. Alam semesta ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada manusia yang punyakecerdasan dan kesadaran atas keberadaannya. Materi apapun ada karena diindra dandipersepsikan oleh otak manusia. Waktu dan sejarah baru ada karena adanya gambaranmental hasil pemikiran manusia. Keunikan manusia terletak dalam fakta bahwa manusia memberikan makna-makna simbolik bagi tindakan-tindakan mereka. Manusia menciptakan rangkaian gagasan dan cita-cita yang rinci dan menggunakan konstruk mental ini dalammengarahkan pola perilaku mereka. Berbagai karakteristik pola perilaku yang berbeda- beda dalam masyarakat yang berbeda dilihat sebagai hasil serangkaian gagasan dan cita-cita yang berbeda pula. Paham idealisme memandang bahwa cita-cita (yang bersifatluhur) adalah sasaran yang harus dikejar dalam tindakan manusia. Manusia menggunakan akalnya untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari baik untuk dirinya dan masyarakat.Para idealis menganggap esensi jiwa adalah kekal sedangkan jasad adalah fana.Lebih lanjut penganut idealisme transendental menganggap bahwa alam semesta atau makro kosmos ini tidak ada. Karena sesungguhnya yang ada hanyalah Allah yang menciptakannya. Diri manusia atau mikro kosmos adalah makhluk spiritual yang merupakan bagian dari substansi spiritual alam semesta.

Kebenaran Persepaktif Aliran Idealisme
Umat manusia dalam kegiatannya sejak dahulu kala hingga dewasa ini pada umumnya mendambakan segala sesuatu yang benar, yang baik, dan yang indah. Hal yang benar, hal yang baik, dan hal yang indah itu sebagai objek pemikiran tidak lain adalah ide-ide kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Ketiga ide agung itu pada umumnya menjadi dasar atau ukuran bagi seseorang dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan. Manusia dalam mempertimbangkan sesuatu pengetahuan biasanya mempertanyakan apakah hal itu benar atau mengandung kebenaran; dalam mengukur suatu tindakan biasanya mempertanyakan apakah hal itu baik atau mempunyai kebaikan; dan dalam menilai sesuatu cerapan biasanya mempertanyakan apakah hal itu indah atau mewujudkan keindahan. Pertimbangan-pertimbangan manusia tertuju pada segala hal yang ada di dunia ini. Dengan demikian, kebenaran, kebaikan, dan keindahan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan medan cakupan yang amat beragam. Kebenaran, kebaikan dan keindahan umumnya dianggap merupakan tiga serangkai idea gung karena tergolong serumpun dan sama-sama melandasi pertimbangan-pertimbangan manusia. Ketiganya saling berkaitan secara erat dengan kebenaran sebagai ide yang berkedudukan utama.
Secara tradisional teori-teori kebenaran itu adalah sebagai berikut: teori Keenaran saling berhubungan, teori hubungan saling berkesesuaian, teori kebenaran inhersi, teori kebenaran berdasarkan arti, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran nondeskripsi, dan teori kebenaran logis yang berlebihan.[4]
Penalaran Persepaktif Aliran Idealisme
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia “memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.[5]
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan.[6]
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut.
Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu :
Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu.[7]

Pendidikan Persepaktif Aliran Idealisme
Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah: (1) Metafisika-idealisme; Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih; (3) Epistemologi-idealisme; Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat; (4) Aksiologi-idealisme; Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.[8]
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan idealisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikkan  sosial; (2) Kurikulum: pendidikan liberal untuk pengembangan kemam-puan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan; (4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya; (5) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.
Bagaimana Praktik Pendidikan?
Idealisme menganggap perlu terbentuknya manusia yang baik. Untuk itu siswa tidak hanya didorong untuk mengembangkan skill dan akal pikiran, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebaikan yg secara naluri sudah ada dalam jiwa manusia. Pada pendidikan dewasa ini bukan hanya teori saja yang harus dicari manusia namun juga sudah menanamkan karakter pada dalam sistem pendidikan itu. Jadi mereka tidak hanya mendapatkan ilmu saja namun juga karakter jiwa.











DAFTAR KEPUSTAKAAN
Maksum , Ali, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta : Ar-Ruzz media, 2009
Pradja, Juhaya  S., Aliran-Aliran Filsafat Dari Rasionalisme hingga Sekularisme. Bandung : Alva Gracia, 1997
Suhartono, Suparlan, Dasar-Dasar Filsafat. Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2009
Sadulloh U., Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta, 2004
Mudyahardjo, R., Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001


[1]Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. (Yogyakarta : Ar-Ruzz media, 2009), hlm. 361
[2]Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Hlm. 362
[3] S. Pradja, Aliran-Aliran Filsafat Dari Rasionalisme hingga Sekularisme. (Bandung : Alva Gracia, 1997), hlm. 38
[4] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat.(Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2009), cet. V, hlm. 78-79
[5]Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2005), cet. 1,  hlm. 50
[6] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, hlm. 25

[7] Sadulloh U., Pengantar Filsafat Pendidikan. (Bandung: Alpabeta, 2004), hlm.
[8] Mudyahardjo, R., Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 

1 komentar:

  1. https://csuryana.wordpress.com/2009/04/23/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/

    BalasHapus