Sabtu, 10 Maret 2012

MAKALAH ZAKAT DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN 
A.      Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Islam, zakat menempati posisi yang sangat penting yang kedudukannya disejajarkan dengan shalat, puasa dan haji. Akan tetapi, dewasa ini teori hanya tinggal teori dan prakteknya selalu lebih sulit. Banyak ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan tentang kewajiban zakat, keutamaan berzakat, hikmahnya zakat, bahkan ancaman bagi para penentang dan pengingkar zakat. Namun masih banyak  orang yang enggan mengeluarkan zakat. Selain alasan tidak tahu, lebih banyak karena faktor tidak mau tahu dan cinta hata yang berlebihan.
Bahkan kadang-kadang terminologi zakat dipandang dari sudut yang sempit, mengeluarkan zakat berarti mengurangi harta yang telah dicari dengan susah payah. Padahal dengan berzakat berarti secara tidak langsung telah membarokahkan hartanya. 

B.      Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian zakat?
2.     Jelaskan hukum zakat?
3.    Jelaskan resiko bagi orang yang inkar zakat?
4.    Jelaskan manfaat zakat / shodaqoh?

BAB II
PEMBAHASAN 
A.      Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa (etimologi) berarti bersih, berkembang, baik, terpuji, dan barokah. Disebut zakat karena dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah dizakati dari bahaya. Sekaligus dapat membersihkan harta dan pemiliknya dari haknya orang lain.
Sedangkan zakat menurut istilah syara' (fiqh) berarti nama sejumlah harta (dalam bahasa tertentu) yang dikeluarkan dari jenis harta tertentu, dengan syarat tertentu dan diberikan pada golongan tertentu.1 [1]

B.      Hukum Zakat
Sebagaimana dalam hadis dibawah ini yang artinya : “Bahwasannya Nabi SAW. Mengutus Muadh bin Sahal ke Yaman. Maka menyebut dalam hadits itu: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari harta orang-orang yang kaya kemudian diberikan kepada orang-orang kafir di tempat itu (HR. BUkhori Muslim, Lafadh bagi Bukhari)
      Diriwayatkan dari Abu Ayub r.a: Seorang lelaki berkata kepada Nabi Muhammad SAW. “katakan kepadaku sebuah perbuatan (amal) yang akan membawaku kesurga”.
Dan hadist : “Nabi SAW bersabda “kau harus beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya denga apapun, mengerjakan shalat, membayar zakat, dan bersilaturrahmi dengan sanak dan kerabat”.
Dari kedua hadits diatas, hukum mengeluarkan zakat adalah fardlu atau wajib bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan mulai diwajibkan sejak tahun kedua hijriah (623 M). banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menyebut zakat berpasangan dengan shalat, hal ini menunjukkan bahwa zakat termasuk ibadah pokok yang tidak bsia diabaikan. Bahkan menurut Ibnu Abbas merupakan pasangan dalam ayat Al-Qur'an yang tidak bisa dipisahkan, artinya seorang yang berkeinginan shalatnya  diterima Allah harus melaksanakan kewajiban zakat, sebaliknya orang yang berkeinginan Ibadah zakatnya diterima Allah harus melaksanakan shalat, sebagaimana Firman Allah SWT.



Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. (Q.S. Al-Baqarah: 43)
Selain itu zakat juga dapat membersihkan harta dan memelihara pertumbuhannya, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.


Artinya:  Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. (Q.S. At-Taubah: 103)
 “Membersihakn” maksudnya, zakat dapat membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan terhadap harta benda, dan “mensucikan” maksudnya, zakat dapat menyuburkan sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta mereka. 
C.      Resiko Bagi Orang Yang Ingkar Zakat
Resiko bagi orang yang ingkar zakat diantaranya adalah yang terdapat dalam hadist-hadist dan ayat-ayat berikut :



Artinya: “Diriwayatkn dari Abu Dzarr r.a: Saya pernah mendatangi Rasulluah SAW. Sewaktu beliau sedang duduk di naungan ka'bah, ketika beliau melihat saya, beliau bersabda, “Demi Tuhan ka'bah, mereka adalah orang-orang yang paling merugi”. Lalu saya mendatangi beliau, dan saya duduk didekat beliau, namun hati saya tetap gelisah sehingga saya berdiri lagi dan bertanya “wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibu saya menjadi tebusan engkau, siapakah mereka itu? “Beliau menjawab “mereka adalah orang yang paling banyak hartanya, kecuali orang yang mempergunakan hartanya begini, begini, dan begini (di mukanya , belakangnya, kanannya, dan kirinya) dan mereka itu sedikit sekali yang demikian. Seseorang yang memiliki unta, lembu, dan kambing, lalu tidak dizakatinya, maka semuanya itu pada harikiamat nanti akan datang kepadanya dalam bentuk yang lebih besar dan lebih gemuk dari sebelumnya, lalu menandukinya dengan tanduk-tanduknya, dan menginjaknya dengan kuku-kukunya. Begitulah seterusnya bergantian tidak habis-habisnya sampai dia mendapat pengadilan di tengah-tengah orang banyak.
Dan diriwayatkan oleh Abu Hurairah R.a yang artinya : “Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Bahwasannya beliau bersabda: barang siapa dianugrahi Allah harta kekayaan tetapi ia tidak mau mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti harta tersebut akan dijadikan serupa dengan ular jantan yang botak kepalanya dan mempunyai dua titik hitam. Ular tersebut dikalungkan pada lehernya dan ular tersebut kemudian mematok dengan kedua tulang rahangnya sambil berkata: aku adalah hartamu dan harta simpananmu, kemudian beliau membaca ayat (Q.S. Ali Imron: 180) yang artinya: dan sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunianya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. (H.R. Bukhari).
Dan juga pada Q.S. At-Taubah : 34-35



Artinya:  Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."(Q.S. At-Taubah : 34-35)
DalQ.S. Fusshilat: 6-7


Artinya:Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.(Q.S. Fusshilat: 6-7)
Dari beberapa hadits dan ayat diatas dapat diketahui bahwa orang yang tidak mau membayar zakat, padahal ia telah memenuhi semua syaratnya akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih di akhirat.
 Akan tetapi, masih banyak saudara-saudara kita yang enggan membayar zakat karena terlalu cinta pada hartanya. Dan yang lebih parah lagi, ada sebagian orang yang melakukan rekayasa zakat. Artinya, melakukan pekerjaan (trick) agar terhindar dari kewajiban membayar zakat, itu termasuk kategori anti zakat yang dibungkus dengan alasan pembenaran yd ibenarkan oleh syara' (fiqh), seperti memembekukan harta dagangan menjelang masa haul, menghibahkan atau menshodaqohkan benda yang wajib dizakaati sebelum masa wajib mengeluarkan zakat denga perjanjian akan dikembalikan setelah melewati masa wajib dizakati sebelum masa wajib mengeluarkan zakat dengan perjanjian akan dikembalikan setelah melewati masa wajib mengeluarkan zakat, memanipulasi harganya barang dagangan dan lain-lain. Menurut Imam Ghozali dalam kitab al-wajiz dan Ihya'ulumuddin, merekayasa zakat hukumnya haram dan secara batin tidak terbebas dari tanggungan membayar zakat / tetap diperhitungkan kelak kemudian hari.





D.      Manfaat Zakat / Shodaqoh



Artinya : “Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi SAW. Bersabda: Tiada tiba hari dimana manusia berpagi-pgi melainkan turun dua malaikat, lalu yang satu berdo'a: ya Allah, berilah ganti kepada orang yang membelanjakan (mendermakan/bersedekah) hartanya. Sedangkan malaikat yang kedua berdo'a: ya Allah, binasakan harta orang yang bakhil. (Bukhari, Muslim)


Artinya : “Ady bin Hatim r.a. berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya sedekah separuh dari sebiji kurma. (Bukhari, Muslim)

Artinya :”Menyedekahkan sesuatu yang sedikit itu bisa menolak banyak bala/bahaya









Artinya : “Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW. Telah memberikan contoh perumpamaan orang yang bakhil dan orang dermawan, bagaikan dua orang yang memakai jubah (baju) besi yang berat bagian tangan ke teteknya dan tulang bahunya, maka yang dermawan tiap ia bersedekah makin melebar bajunya itu sehingga dapat menutupi hingga ujung jari kakinya dan menutupi bekas-bekas kakinya, sedangkan si bakhil jika ingin sedekah mengkerut dan tiap pergelangan makin serat dan tidak berubah dari tempatnya. Abu Hurairah r.a berkata: saya telah melihat Nabi SAW. Ketika menyontohkan dengan tangannya keadaan bajunya dan andaikan ia ingin meluaskannya tidak dapat (Bukhari, Muslim).


Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhan melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendakinya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan dia lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya (Q.S. Saba': 39)     
 Dari hadits-hadits dan ayat-ayat diatas, kita tahu bahwa Allah akan memberi kemudahan rizki dan melipat gandakan harta orang yang dermawan serta pahala yang banyak bagi mereka. 












ANALISA

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanyakekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat"itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagaitokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulitorang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga.
Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilansekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang takmasuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkaramustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikanshalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tibaterpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupiorang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa dialam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanyapas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secaraterus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi,bagaimanapun hal ini memang tak mustahil. Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenishalte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akanmunculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tanganlangsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islamdatang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan olehmanusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segalakemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatanmaupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisabaik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadilaiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa,manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memilikikemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk –kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam takpunya urusan. Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuranyang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul(sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qulartinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam wujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadirdalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logikateoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empirisbersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebutma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yangbisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwayang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secaraimplisit haruslah ma'qul. Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebihmendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa sajamengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'quluntuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu,satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, ataukeadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah padapemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunyarukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materiitu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapihanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya. Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber dayamateri sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkanmeletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikianrupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangantertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekanserendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memilikibagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapiagar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yanglain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermuladari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan dibidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.

Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusikekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yangdimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yangdiperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yangtak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentinganbersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalanganberada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusiamengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiranlembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukanpengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yangdalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenaldengan negara (state), dari sudut moral memang merupakananomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untukmenjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi. Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moralhanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racunpenawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yangkuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peranterbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistemhukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (sepertisatelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadialat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnyadinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabilapernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusiayang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaganegara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisitingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telahlenyap berikut seluruh akar-akarnya. Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajaksedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaanseperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggiyang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya,setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajibpajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkatkehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semuapihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya palingdiuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini? Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negarayang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, sepertiyang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadapnegara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis,seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gilalagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolutzaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulaimelibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukanpenggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarkiabsolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja. Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyatdalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uangpajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasanrakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi,kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebihsublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, dinegara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembagaperwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politikkalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalahsekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku merekatetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan parapenguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga PerwakilanRakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, padahakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa. Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensilembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif)memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalamrangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentinganrakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagisepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baiksecara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapijuga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah,yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yangpaling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya(eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada ditangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah danterutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yangjustru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja iadiucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalamalokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yangpaling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi ataumelayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melaluisektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demikepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunansarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalanganmasyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanjayang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), samasekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerikayang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribusampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yangtuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwarakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memilikinegara. Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyakorang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telahmenempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaumlemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakatbangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat duniaTimur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya(charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yangmiskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siapmenawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupunyang berupa pinjaman (loan). Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoniuntuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistemkenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memangmerupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jikadilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kitabahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demikepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentinganrakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka(negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalahkepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan ataupemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politikmengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalanganpara kaya kapitalis, selaku cukongnya. Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa,sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakatbukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikirankenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranatapajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban)sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jamanini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya,bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yaknibeban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga taksampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timuryang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orangkaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan parapenguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Baratyang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinyadiprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah,diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yangsudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elitepolitik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya. Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusikekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilansosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagiterutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan takada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untukmengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi,jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi idepemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannyamereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian darikekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokoktak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kinijelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaganegara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuatselingkuh. So, what?! Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkanatau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanyatak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebihluas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa punkonyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaganegara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya samabelaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitasmanusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badanbesar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawiyang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi denganbercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun--kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankanjalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripadadiperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yangpaling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yangmengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengankewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terusmenerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsujahat yang mengitarinya." Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusiatak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaganegara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengansadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya,lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial(amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agarkeberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagikepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagikepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Darisudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaanpemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingansegenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dankesejahteraan) bagi semuanya. Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dankerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harusdiselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (danpada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yangsudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih darisepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkinmerasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harusberspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpakeberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahanitu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan,apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka


BAB IV
PENUTUP 

A.    SIMPULAN
1.     Zakat menurut bahasa adalah bersih, berkembang, baik terpuji, dan barokah. Sedangkan menurut istilah adalah harta yang dikeluarkan dengan syarat-syarat tertentu dan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
2.     Hukum mengeluarkan zakat adalah wajib bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.
3.     Resiko bagi orang-orang yang tidak mau membayar zakat adalah mereka akan mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat kelak.
4.     Orang-orang dermawan hartanya akan dilipatgandakan oleh Allah dan orang-orang yang kikir hartanya akan dibinashkan.











DAFTAR PUSTAKA 

Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahnya, Surabaya: “Mahkota” Surabaya
Hajar, Ibnu dan Syekh Al-Hafiedh. 1993. Terjemah Buluqhul Marm, Surabaya: Al-Ikhlas.
Khoir, M. Masykur. 2003. Risalatuz Zakat. Kediri: Duta Karya Mandiri
Koho, Qosim, 2000. Himpunan Hadits Lemah dan Palsu. Surabaya, Bina Ilmu
Thalabi, Tajuddin, 1998, Pendidikan Agama Islam 2 SMU Assa'adah, Gresik:
Al-Mundziri, Al-Hafidzh Zaki Al-Din Abd Al-Azhim, 2002 Ringkasan Shohih Muslim, Bandung: Mizan.


[1] M. Masykur Khoir, Risalatuz Zakat, Kediri, Duta Karya Mandiri, 2003, hal. 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar