Jumat, 23 Maret 2012

PENDIDIKAN PRESPEKTIF RASIONALISME


BELAJAR DI ALAM NYATA

Abstrak
Filsafat realisme yang memandang dunia sebagai sebuah fakta objektif, dengan penekanan pada pengalaman empirik dalam memperoleh sebuah pengetahuan, menarik diangkat kembali dalam upaya mencandra realitas pendidikan kita yang cenderung meninggalkan studi empirik dan terkesan “melangit”. Sehingga hanya mengajarkan pada peserta didik sebuah pengetahuan abstrak yang jauh dari kenyataan. Di sisi lain, terdapat juga yang terjebak memandang dunia hanya alam materealistik, sehingga menyebabkan manusia egois dan sombong serta teralineasi dari nilai-nilai kearifan. Padahal, dengan berbagai paradigma aliran realisme, baik itu realisme tradisional maupun realism kritis—semakin menyakinkan bahwa alam beserta isinya adalah sebuah misteri yang perlu didekati bukan tataran materialistik dan mekanistik belaka. Terdapat dunia lain yang tidak bisa ditangkap dengan kekuatan nalar dan harus kita yakini keberadaanya, dan terdapat perbedaan hakiki antara manusia dengan benda-benda yang dipelajari ilmu alam. Filsafat realisme dengan begitu sebenarnya mengajarkan bagaimana kita bisa belajar pada alam nyata dengan  konsep integralistik, sebuah cara pandang yang tidak memisahkan antara yang materi dan immateri, supaya menimbulkan harmoni antara manusia dengan Tuhan dan alam sekitarnya.

Keata Kunci: Realisme, Pendidikan dan Pengalaman Nyata.            


Pendahuluan
Realitas..! begitu sering kita mendengar istilah yang satu ini. Sebuah istilah misterius dan kontrofersial yang sering melekat pada sebuah objek atau benda. Bisa jadi, istilah ini berkonotasi baik atau buruk, kabar gembira yang menyenangkan atau pengalaman pahit.  Sebagai contoh realitas berarti negatif adalah praktik pendidikan kita yang lebih mengutamakan angka atau fisikalisasi seperti; IP, Rangking, dan Ijazah—daripada substansi, sehingga menyebabkan terdistorsinya nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah realitas yang tidak boleh dianggap sepele dan harus segera dicarikan pemecahanya. Dalam konteks ini, memandang manusia secara holistik, sebagai makhluk materi dan immateri sekaligus, paling memungkinkan untuk mengembalikan manusia sebagai pribadi yang utuh (insan kamil).    
Berbeda pula ungkapan realitas yang menunjukkan arti sebuah “malapetaka atau nasib”, bagi koruptor Nazaruddin. Setelah ditangkap di Cartagena, Kolombia, tersangka dugaan suap kasus pembangunan wisma atlet di Palembang itu. Meskipun, selalu berkelit dan mempertahankan diri dari semua tudingan yang dialamatkan kepadanya, bahkan selama masa pelariannya banyak bicara dan menuding sejumlah tokoh Partai Demokrat terlibat dalam aliran dana ilegal ia akhirnya pun, banyak diam dan harus ditahan di Rumah Tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Lain Nazaruddin, lain pula makna realitas seperti bagi masyarakat umum atau orang tua yang sukses maupun gagal dalam mendidik anaknya. Kegagalan bagi mereka adalah sebuah kenyataan hidup yang harus diterima apa adanya. Siapa sangka, meskipun mereka sudah berusaha semaksimal mungkin, dengan mengirim putra-putrinya ke sekolah setelah lulus tidak menjadi seperti yang mereka impikan, malah menjadi pengangguran. Ini, mungkin disebabkan putara-putri mereka selama sekolah hanya mengejar gelar, nilai/IP dan lebih mementingkan hardskill daripada softskill.         
Sebuah negeri yang terkenal dengan sebutan gemah ripah loh jinawi, sebuah penggambaran ideal tentang Negara kita yang subur dan makmur, tetapi pada kenyataanya sekarang, masih banyak ditemukan orang miskin, pengemis, gelandangan dan orang-orang yang berserak di pasar, tlotoar dan  dijalanan yang berdebu. Belum lagi, diperparah dengan kondisi keterpurukan bangsa ini, akibat keserakahan dan ulah para koruptor yang menjarah uang Negara. Adalah sebuah realitas dan potret buram bangsa yang besar ini.
Semua deskripsi di atas mengantarkan pada kita, akan kebenaran contoh adanya ”realitas” dunia. Meskipun sebenarnya realitas itu adalah sesuatu kenyataan yang bisa diterima atau tidak oleh akal sehat (reason). Dan disinilah letak pertentangan antara aliran realisme skolastik dan new realism (sebagaimana nanti penulis jelaskan). Karena menurut Imanuel Kant, dunia ini terdiri dari dua realitas: yaitu fenomena dan noumena. Dunia empiris yang terjangkau oleh nalar, pancaindera  dan bisa diamati adalah dunia fenomena. Sementara kebalikanya adalah noumena. Sesuatu yang tidak bisa terjangkau oleh nalar, bukan fisik atau empiris. Contoh ditemukan seorang wanita berpenyakit aneh di Kalimantan, yang sekujur perutnya bermunculan kawat. Secara medis, jenis penyakit ini, mustahil dan tidak ditemukan obatnya. Tetapi, begitulah realitasnya, penyakit tersebut benar-benar ada dan bisa berangsur sembuh dengan cara non-medis (lewat zikir dan do’a).
“Realitas” baik bisa dicandra ataupun tidak oleh pancaindera manusia, dengan begitu telah menunjukkan kebenaran atas keberadaanya. Sebab, meminjam analisis Ali Harb[1] (2006: 35), apa mungkin sebuah entitas itu tidak ada tanpa nama? Sesuatu disebut dengan sebutan klepon oleh orang jawa, pasti menggambarkan realitas yang menunjukkan keberadaan sesuatu, bukan imajinasi dan khayalan (dalam dunia dongeng). Melainkan sebuah nama yang menjelaskan   sebuah jenis makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang bisa dinikmati dan dirasakan (ada wujudnya). Begitu pula kenapa ada istilah jin, setan, demit, malaikat, dan semua jenis makhluk gaib lainya. Semua istilah ini pastilah ada wujud yang menggambarkan keberadaanya. Karena tidak ada entitas yang dapat dirujuk kepada beragam entitas lainya, atau memiliki sifat sama dengan entitas yang berbeda tersebut, atau berwujud sebuah entitas yang sulit didefinisikan.
Relevan dengan pernyataan itu, maka tak salah jika Nitze pernah membaca pernyataan Ibn’Arabi[2]  yang berbunyi ”Siapa yang mengetahui hakikat sesuatu, maka ia telah menerima kunci ilmu pengetahuan”. Jadi realisme yang membicarakan tentang persoalan yang sesungguhnya, merupakan sesuatu yang urgen untuk membuka tabir dibalik rahasia alam. Membicarakan entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia[3]. Bisa dikatakan, realisme selalu membicarakan dan melakukan penyelidikan secara terus menerus akan eksistensi sebuah  kebenaran. Sesuatu disebut “kebenaran” atau scientific truth, dalam prespektif realisme tidak cukup dikatakan, tetapi harus melalui proses pembuktian akan kebenaranya, melalui  observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Sayang, aliran realisme yang seharusnya mengantarkan cara pandang manusia agar memahami dunia beserta isinya, dengan bantuan inderanya dalam praktik di sekolah lebih menekankan pada cara pandang yang parsial, dikotomik. Seolah-olah dunia ini hanya terdiri dari alam material dan menafikan eksistensi tuhan (ateis) . Akhirnya, pandangan dunia ilmiah yang diklaim memiliki nilai kebenaran data-data empiris tersebut, menyebabkan manusia terperosok pada alam materialistik dan, serba kebendaan dan menimbulkan “malapetaka” atau  tragedi kemanusiaan. Patut disayangkan bukan?          
          
Idealisme: Antara Esensi dan Eksistensi
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh. Istilah idealisme diambil dari kata ideas, yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh atau jiwa, ide-ide atau pikiran atau yang sejenis dengan itu.[4]
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato, yang menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan sebenarny. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari idea itu. Aristoteles memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Pada zaman Aufklarung, para filsuf yang mengakui aliran serba-dua, seperti descartes dan Spinoza, yang mengenal dua pokok yang bersifat keruhanian dan kebendaan maupun keduanya. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme pada masa abad ke-18 dan 19, yaitu saat Jerman sedang memiliki penganut besar di Eropa. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677), Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1881), J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1755-1854), dan G. Hegel (1770-1831).[5]
Berbicara tentang filsafat, tidak bisa dilepaskan dari para pencetusnya. Filusuf yang sangat kita kenal dan dialah sebagai mbahnya filusuf. Yaitu Socrates. Ia hidup pada abad ke 6 sebelum masehi. Socrates menyebarkan pandangannya lewat lisan. Di mana pun ia bertemu dengan orang-orang pada saat itu, ia mengajaknya mengobrol ringan, hingga sampai pada pembicaraan yang berunsur ilmu pengetahuan. Oleh karena penyebarannya yang terbuka itulah, penguasa di wilayahnya tersebut marah. Karena Socrates dianggap sebagai orang yang membawa ajaran baru yang bertentangan dengan dewa dan undang-undang penguasa saat itu.
Akhirnya socrates dibunuh oleh penguasanya dengan cara dipaksa meminum racun. Sebagai penerusnya, kita kenallah dengan nama filsuf yang juga tidak kalah pentingnya dalam dunia perfilsafatan. Yaitu Plato. Plato hidup sekitar abab ke-5 sebelum masehi. Ketika Socrates masih hidup, satu-satunya murid yang paling setia adalah Plato. Yang kemudian telah menulis pemikiran-pemikiran sang gurunya, Socrates. Karena Socrates sendiri tidak pernah menuliskan pandangannya sendiri.
Sekitar hampir 20 tahun berguru dengan Socrates, Plato pun mulai memasuki seluk beluk bidang keilmuan. Terutama tentang alam atau makro kosmos. Dari sinilah kemudian muncul aliran filsafat yang kita kenal sekarang dengan aliran idealisme. Aliran ini adalah hak paten Plato. Plato beranggapan bahwa semua yang ada di alam ini adalah bayangan dari sesuatu yang sesungguhnya (realita).
Sejarah idealisme cukup berliku-liku dan meluas karena mencakup berbagai teori yang berkaitan. Idealisme ini ada tiga jenis, yaitu Idealisme Subjektif, Idealisme Objektif, Idealisme Personal.[6]
Alam, bagi orang idealis mempunyai arti dan maksud, yang diantara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia. Oleh karena itulah seoarang idealis akan berpendapat bahwa: terdapat suatu harmoni yang dalam antara manusia dan alam. Apa yang “teringgi dalam jiwa” juga merupakan “yang terdalam dalam alam”. Manusia merasa ada dirumahnya dalam alam, ia bukanlah orang asing atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang baik.
Meskipun begitu, Paham realisme berpendapat bahwa eksistensi tidak tergantung dari pengetahuan; karena itu eksistensi dari sesuatu tidak berimplikasi ia diketahui. Sebaliknya idealism berpendapat bahwa pengetahuan dapat ada (exist) hanya jika ia diketahui; karena itu eksistensi tergantung dari pengetahuan. Dalam pandangan realisme yang ada seluruhnya merupakan dunia material. Dalam dunia yang seperti ini ada hal-hal yang tentangnya kita tidak memimiliki pengetahuan (kita tidak mengetahuinya).

Pendidikan dalam Prespektif Realisme
Karena realisme memandang pengetahuan adalah gambaran atau copy dari apa yang ada di dalam nyata. Maka proses pencarian kebenaran dalam pendidikan harus senantiasa melibatkan pegalaman inderawi. Pendidikan disini harus mendekatkan anak pada dunia, alam atau kejadian nyata sebagai objek yang dapat diamati.
Proses pendidikan dengan begitu, tidak menjauhkan peserta didik dari pengalaman nyata yang bisa dilakukan dan dialami sendiri secara langsung. Sebab, Dagobert sebagaimana dikutip Abdul Djamil (1996: 69-70), pernah menyatakan that sense experience report a true and uninterrupted, if limited, account of objects; that is possible to have faithfuland direct knowledge of the actual world.
Kenyataan tersebut tidak lepas dari hakikat kenyataan dalam prespektif realisme yang dilihat sebagai hal atau benda. Jadi, bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik[7].
Selain itu pengetahuan dalam prespektif realisme harus didasarkan pada sebuah kepastian. Perubahan tidak dapat dijadikan sebagai landasan bagi teori atau praktik pendidikan, tetapi sebagai pelengkap (instrumental). Sebab, realisme berkeyakinan perubahan sungguh sebuah realitas, tetapi semua perubahan terjadi menurut hukum yang pasti.  Dengan begitu, karena realitas pendidikan harus didasarkan pada apa yang disebut dengan facets of reality dan permanence and change. Maka, peserta didik dalam praktik pendidikan dapat belajar tentang apa yang telah ditemukan orang lain tentang dunia[8].
Terdapat empat tujuan pendidikan menurut aliran realism,yaitu (1). To discern the truth about things as the really are (2). To extend and integrated such truth as is known (3). To gain such practical knowledge of life in general and of professional functions in particular as can be theoretically grounded and justified (4). To transmit this in a coherent and convincing way both to young and to old throughout the human community.   
Sedangkan fungsi pokok pendidikan adalah petunjuk tentang proses belajar. Dalam konteks ini, pendidikan harus membimbing peserta didik menemukan dan memahami dunia sekitarnya. Kurikukum yang harus diberikan pada mereka adalah mengenai “the truth tradition”. Sebagaimana idealis, realism percaya bahwa kurikulum yang terdiri atas materi yang diorganisir dan terpisah atau berdiri sendiri adalah sangat efektif dan cara efisien belajar tentang realitas  objek.
Dengan begitu, sekolah bagi realisme dipandang sebagai lembaga yang ditetapkan untuk  tempat peserta didik belajar tentang dunia objektif.[9] Dan bagi aliran ini, pendidikan adalah belajar tentang disiplin ilmu tertentu yang sudah diklasifikasi dalam ilmu-ilmu pokok (the body of knowledge) seperti;. sejarah, bahasa, sain dan  matematika. Apabila peserta didik menguasai ilmu-ilmu ini, diyakini akan mengetahui dunia dan dapat menjadi panduan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
 Antara pendidik dan peserta didik memiliki peran masing-masing. Pendidik memiliki peran sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar. Sedangkan peserta didik sebagai orang yang harus taat pada hukum dan disiplin agar dapat menguasai ilmu pengetahuan.   
Dan metodologi yang digunakan harus aktif, sebab degan begitu memungkinkan bagi guru untuk mampu mengembangkan kekuatan intelektual dan menemukan sebuah integrasi pengetahuan dunia peserta didik. Agar semua ini terealisir tentu saja, harus didukung dengan seorang guru professional yang menguasai dan expert terhadap bidang kajianya.  
Metodologi dalam pendidikan menurut realisme dengan begitu harus mempertimbangkan beberapa hal sebabagai berikut: pertama, secara ontologis pendidikan harus melihat peserta didik dipandang seperti apa adanya, utuh dan tidak teredukdi sedikitpun.  Mereka bisa dijadikan sebagai sasaran untuk dipelajari apa adanya. Kedua, dari sisi epistimologis, dimana dalam prespektif realisme pengetahuan adalah hasil yang dicapai melalui proses dimana antara subjek dan objek mengadakan pendekatan. Maksudnya adalah, hasil sebuah pengetahuan merupakan perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia dalam menyerap objeknya. Praktik pendidikan dengan begitu, harus didasarkan pada hasil pengamatan terhadap realitas empirik mengenai peserta didik yang dipelajari secara ilmiah. Dan ketiga, dalam hal aksiologi pendidikan, peserta didik dianggap sebagai agen yang ikut menentukan hakikat nilai.  Mereka sebagai manusia unik yang harus dilibatkan dalam mengkontruk sebuah nilai. Tidak boleh ada paksaan sebuah nilai yang harus diberikan kepada peserta didik.

Bagaimana Praktik Pendidikan?
Kalau melihat pendidikan di Indonesia, meskipun sangat diwarnai oleh aliran positivistic tetapi justru terjebak pada pencarian kebenaran yang bersifat mekanik dan menggeser peran manusia sebagai pribadi yang unik dengan segala potensi yang dimilikinya. Karena, paradigma positivistic yang pada awalnya bersumber pada realism—dalam implementasinya tidak memberikan fleksibelitas kepada peserta didik dalam menentukan sebuah kebenaran.
Padahal kebenaran dalam prespektif positifistic, yang pada awalnya bersifat determinsitik, mekanik dan materialistik. Pandangan seperti ini, dalam perkembangan di dunia filsafat sains,  telah banyak mengalami kritikan. Lebih-lebih setelah ditemukan teori mekanika kuantum sebuah perkembangan mutakhir dibidang fisika. Yang oleh Zainal Abidin Bagir[10], telah menyebabkan pembalikan pandangan yang tak deterministic dan tak mekanis. 
Paradigma pendidikan yang lebih menitik beratkan pada positivistic tersebut, sejatinya telah memberikan pandangan dunia sebagai realitas independen dan otonom. Padahal sejatinya, dunia ini meskipun memiliki daya-daya alamiyah, seperti gelombang nuklir lemah, elektromagnetik, bahkan gravitasi oleh para filsuf muslim,seperti al-Farabi, IbnSina,dan Ibnu Rusys, selalu dikaitkan dengan daya kosmik, samawi dan transenden. Bahkan manusia, yang oleh saintis hanya dipandang sebagai makhluk fisik-kimia, oleh para filsuf dan mistika muslim dipandang sebagai “mikrokosmos”. Meskipun manusia secara fisik tidak signifikan, ia dianggap memiliki segala macam unsur kosmik, dari mineral, tumbuhan, hewan, dan bahkan spiritual.[11]
Bahkan hubunganya ilmu positivistic dalam memandang manusia itu, seorang sosiolog K.J Veeger,[12] mengkrtik keras karena bisa menyebabkan manusia dianggap memiliki hukum yang sama dengan ilmu pengetahuan yang harus bersifat objektif, berulang kali, dan kesalingketergantungan antar unsur-unsurnya. Semua itu berakibat fatal bagi manusia karena selama ini manusia dipandang sebagai objek yang kehilangan kebebasanya sebagai manusia, ia diasingkan dari diri sendiri, tidak merasa bebas dan berkuasa atas hidupnya sendiri. Lebih jauh Veejer menjelaskan sesungguhnya  manusia adalah makhluk religius, sebab manusia memiliki apa yang disebut religious kesadaran manusia yang percaya bahwa Di atas dan dibawah tata fenomena yang beraneka-warna, bersembunyilah “Ada Sejati”atau, menurut Plato, to ontos on, yaitu Realitas yang mendasari segala realitas,Yang Tunggal tanpa ada lawanya. 
Artinya, untuk mengembalikan praktik pendidikan di Indonesia  agar mencapai sebuah tujuan seperti yang diharapkan sudah seharusnya memiliki perpaduan paradigma yang tidak dikotomik, antara positivistik dan non-positivistik. Sehingga, benar-benar mampu menghasilkan manusia yang holistic atau insan al-kamil. Sebab, dalam mencari pengetahuan tidak terperosok pada egoisme kemanusiaannya, tetapi tetap menyertakan adanya campur tangan Tuhan.
Unsur kecerdasan dan rasionalitas sebagai sesuatu anugerah Tuhan mutlak diperlukan dalam mencari dan menemukan (ciourisity) ilmu pengetahuan. Tetapi, hal ini harus selalu dipantulkan pada kebenaran agama sehingga terjadi hubungan sinergis dan harmonis antara akal dan wahyu. Akhirnya,  penggalian ilmu pengetahuan tersebut membawa kemaslahatan bagi hidup dan kehidupan manusia.    
Dalam praktiknya, pendidikan dalam prespektif realisme dengan begitu harus senantiasa lebih mendekatkan realitas kebenaran pada peserta didik. Sebab, menurut John Locke salah seorang tokoh realism, pengalaman riil atau experience memiliki peranan yang sangat penting  bagi seorang anak dalam mencari ilmu pengetahuan. Lebih lanjut ia berkata: stressing the relationship between the environment n human thought, said: “whence has all the  materials of reason and knowledge? to this answer, in one word, experience [13]. Jadi mereka sendiri yang melihat, mendekati dan menemukan sebuah kebenaran itu. Bukan sebuah kebenaran yang sudah di paket dalam buku dan dikuasai oleh para guru. Sementara anak-anak didik hanya boleh mengamini saja. Celakanya lagi, pintar dan tidak pintarnya seseorang hanya ditentukan pada Ujian Akhir Nasional.
Selain itu, proses pendidikan tidak harus ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang sebesar-besarnya pada anak yang harus dihapal dan dikuasai (having), tanpa harus mengerti untuk apa pengetahuan yang dimilikinya tersebut. Sehingga, semakin banyak hapalan teori semakin jauh ia dari realitas masyarakatnya. Melainkan, pegetahuan yang diperoleh di sekolah harus membentuk sebuah kepribadian yang diharapkan dan “merubah dunia”. Inilah istilah teori pendidikan yang sering disebut dengan learning by doing. Sebagaimana anjuran Roussue ketika  menulis sebuah buku yang berjudul Emile, yang diambil dari nama anaknya.
Tak salah, jika melihat pendidikan di Negara kita karena menekankan pada pembelajaran yang tidak holistik—meskipun sudah banyak diajarkan tentang konsep nilai-nilai kemanusiaan, seperti; gotong-rorong, toleransi, peduli terhadap sesama. Pada praktiknya, mereka banyak yang berlaku dan bertindak tidak manusiawi. Seringnya tawuran, kekerasan dan anarkisme di masyarakat kita semakin membenarkan,  jauhnya penerapan nilai-nilai yang telah diajarkan di sekolah itu.
Letak kesalahanya adalah bukan pada tataran konsep yang diajarkan tersebut pada peserta didik. Tetapi, mereka merasa asing dan tidak terbiasa dengan nilai-nilai kebaikan tersebut, ketika harus hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka hapal betul tentang pluralitas masyarakat Indonesia. Tetapi, mereka tidak mengerti dan menyadari kemajemukan agama, etnis, kultur yang berada di tengah-tengah msyarakat dimana ia bertempat tinggal. Sehingga tidak bisa berbuat banyak dengan sejumlah teori pluralitas yang diajarkan sekolah. Karena hanya berhenti pada tingkatan knowing (mengetahui kemajemukan), tidak sampai feeling (merasakan adanya kemajemukan) apalagi sampai doing (bersikap dan menghargai kemajemukan).
Padahal dalam presepektif realisme, pendidikan seharusnya mengajarkan sebuah objek atau pengetahuan “apa adanya” kepada peserta didik. Sehingga mereka dapat membuktikan sendiri akan pengetahuan itu. Tentang konsep realitas kemajemukan seperti itu misalnya, tentu saja tidak cukup untuk dikatakan dan murid hanya terampil menyebut sejumlah angka-angka perbedaan di masyarakat. Tetapi mereka betul-betul didekatkan dengan kenyataan perbedaan di masyarakat tersebut. Sehingga, mereka menyadari  dan terbiasa dengan perbedaan ini. Misal saja, mereka diajak melihat keanekaragaman agama dimasyarakat. Sehingga memungkinkan mereka  berkomunikasi dan bersosialisasi secara langsung dengan masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya, agama dan etnis. Mereka tentu saja akan mengerti secara langsung perbedaan-perbedaan  agama dengan tempat ibadah dan tatacara sembahyangnya. Secara otomatis juga terjadi pengalaman yang tidak hanya melibatkan kognitif saja, tetapi perasaan afeksi dan psikomotorisnya sekaligus. 



Referensi:
Adrian M Dupuis dan Robert B. Nordberg, Philosophy and Education; A Total View, USA: The Bruce Publishing Company,1973. 
Ali Harb, Asilah al-Haqiqahwa Rahanat al-Fikr: Muqarabat Naqdiyah wa Sijaliyyah, diterjemahkan oleh Umar Bukhory “Relativitas Kebenaran”, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
A.Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z,Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Calhoun, C, 2002, Dictionary of the social science, Oxford University Press, Oxford.
Christiadi Cohen, Bahasa Menurut Ontology Realisme Analitis BERTRAND RUSSEL, STULOS 6/1 (April 2007).
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan,  Yogyakarta: AdiCita, 2002.
Mulyadi Kartanegara, Ketika Sains Bertemu Filsafat dan Agama, dalam Journal Relief: Agama & Sains, vol.1 no1 tahun 2003.
Zainal Abidin Bargir, Pluralisme Pemaknaan dalam Sains dan Agama, dalam   Journal Relief: Agama & Sains, vol.1 no1 tahun 2003.
Joan I. Robert “An Overview of Antropology and Education”,dalam  Joan I. Roberts dan Sherrie K.Akinsanya, Educational patterns n cultural configurations :The Antropology of Education, New York: DavidMcKay Company, 1976.



[1] Ali Harb, Asilah al-Haqiqahwa Rahanat al-Fikr: Muqarabat Naqdiyah wa Sijaliyyah, diterjemahkan oleh Umar Bukhory “Relativitas Kebenaran”, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006:35.
[2] Ibid: 36.
[3] Calhoun, C, Dictionary of the social science, Oxford University Press, Oxford, 2002.

[4]Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. (Yogyakarta : Ar-Ruzz media, 2009), hlm. 361
[5]Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Hlm. 362
[7] Imam Barnadib, 2002, Filsafat Pendidikan,  Yogyakarta: AdiCita, 2002: 15.
[8] Adrian M Dupuis,Op Cit: 171.
[9] Philosophical Ideas in Education, OpCit:hal.193.
[10] Zainal Abidin Bargir, Pluralisme Pemaknaan dalam Sains dan Agama, dalam   Journal Relief: Agama & Sains, vol.1 no1 tahun 2003:16.
[11] Mulyadi Kartanegara, Ketika Sains Bertemu Filsafat dan Agama, dalam Journal Relief: Agama & Sains, vol.1 no1 tahun 2003:70-71.
[12] KJ. . Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia, 1984: 231-252.
[13] Joan I. Robert “An Overview of Antropology and Education”,dalam  Joan I. Roberts dan Sherrie K.Akinsanya, Educational patterns n cultural configurations :The Antropology of Education, New York: DavidMcKay Company, 1976.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar