PENDAHULUAN
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam. Lima fakultas di lingkungan IAIN1 (Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiyah dan Ushuluddin) seluruhnya mengajarkan ilmu kalam dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sedemikian kokohnya kedudukan ilmu kalam dalam studi-studi keislaman sehingga nyaris terlupakan sisi historisitas bangunan pola pikir, logika, metodologi dan sisitematika keilmuam kalam itu sendiri, yang pada gilirannya terlupakan pula agenda pengembangannya. Bagaimana sejarah perkembangan "teori-teori" ilmu kalam, model/tipe logika apa yang biasa digunakan oleh para penggunanya, faktor apa saja yang mendorong menguatnya pengaruh pendekatan kalam dalam keberagamaan Islam? Mengapa kemudian muncul ke permukaan pendekatan tasawuf menjadi counter terhadap model dan corak pendekatan kalam? Kritik terhadap model pendekatan kalam oleh ulama klasik begitu gencar, tetapi mengapa ia tetap bertahan kokoh seperti sediakala, bahkan belakangan terkesan "diproteksi" oleh berbagai kepentingan sosial-politik yang selalu mengelilinginya?
Pada era globalisasi agama dan budaya, umat Islam di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Adanya jarak yang terlalu lebar antara "teori" dan "praksis" dalam kajian kalam, antara "idealitas" dan "relitas", antara "teks" dan "konteks", mendorong munculnya pertanyaan yang bersifat akademis: bagaimana hal demikian dapat dijelaskan? Mengapa materi ilmu kalam, lebih-lebih aspek metodologinya, tidak dapat dikembangkan sedemikian rupa --tidak seperti halnya yang terjadi pada disiplin-disiplin ilmu yang lain-sehingga diharapkan dapat memberi bekal yang cukup bagi konsumennya untuk mengarungi samudra kehidupan era baru era industri dan post industri? Mengapa seringkali timbul dalam diri umat Islam bahwa mereka adalah selalu minoritas, padahal dalam statistik mereka adalah mayoritas? Mengapa umat Islam mengalami disartikulasi politik meskipun mereka mayoritas? Adakah andil yang diduga dapat disumbangkan oleh ilmu kalam dalam konfliks etnik, ras, suku, dan agama?
Menurut pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa: "philosophy is, however, a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for its own sake of other disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates mew ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily exposes itself to starvation in terms of fresh ideas - in fact it commits intellectual suicide". Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut: "Bagaiamanapun juga filsafat adalah merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersifat kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan kelesuan darah -dalam arti kekurangan ide-ide segar-dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh diri intelektual."2
Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyyah, seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin.3 Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas keberagamaan Islam khusunya kurang begitu dikenal dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era kontemporer
1. Pengertian Ilmu Kalam
2. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
3. Sejarah Munculnya Persoalan Ilmu Kalam
4. Hubungan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
5. Macam-Macam Faham Ilmu Kalam
6. Studi Kritis Terhadap Ilmu Kalam
7. Pemikiran Ilmu Kalam Ulama' Modern
- Jamaludin Al-Afgani dan Muhammad Abduh
Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad 1254 H/ 1838 M. Madzhab yang dianut oleh Afgani adalah Hanafi. Meskipun ia mengikuti madzhab tertentu tetapi komitmennya terhadap Sunnah luar biasa. Ia juga konsisten terhadap pokok-pokok dan cabang dari madzhabnya, semangat beragamanya sebagaimana pengakuan orang-orang yang hidup pada masanya tak tertandingi. Pemikiran Afghani dan gaya hidupnya mempunyai beberapa karakteristik antara lain :
v Watak ruhiyyah yang bisa dilihat dari segala tindakan Afghani baik ketika mengucapkan kata-katanya atau ketika ia diam.
v Jiwa agamis yang melekat pada Afghani yang mewarnai semua ide-ide dan angan-angannya.
v Kesadaran Moral yang tinggi yang menguasai seluruh perbuatannya.
Afghani berusaha untuk menyemangati umat Islam untuk melakukan ijtihad dan tidak pasrah mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui landasan dalil alias bertaklid buta. Afghani juga mengkritisi kaum fatalis yang tidak mau berjuang untuk mengusir penjajah dan hanya mengharapkan turunnya pertolongan Allah tanpa melakukan usaha dan ikhtiar. Afghani juga mengatakan bahwa tak ada orang islampun baik ia Sunni, Zaidiyyah, Ismailiyyah, Wahabi, atau Khawarij yang berfaham Jabriyyah ( fatalisme ), bahkan semua aliran tersebut berpendapat bahwa manusia diberikan kebebasan untuk melakukan perbuatannya dan inilah sebenarnya arti dari kebijaksanaan Tuhan dan keadilannya sehingga hanya orang yang beramal baik yang akan mendapat pahala surga dan orang yang beramal jahat yang akan mendapat siksa neraka. Tapi seorang muslim yang lurus menurut Afghani harus meyakini kebenaran qadla` dan qadar sebab iman kepada keduanya didasarkan pada nash yang qath`I dan sesuai dengan fitrah manusia
Syekh Muhammad Abduh yang mempunyai nama lengkap Muhammad bin abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-buhairah, Mesir tahun 1849 M. Diantara pemikkiran-pemikiran kalam Muhammad Abduh yaitu: Membebaskan akal dan pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkemnbangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriyah)sebelum timbul perpecahan; yaknimemahami langsung dari sumber pokoknya AL-Qur’an.
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmidi kantor-kantor pemerintahmaupun dalam tulisan-tulisan di media massa .
- Sayyid Ahmad Khan
Pemikiran Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan dengan Muhammad Abduh di mesir , setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al- Afghani dan setelah sekembalinya dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun dia sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan mempercayai adanya kebenaran dari Tuhan adalah wahyu, tetapi di berpendapat bahwa akal bukan segalanya bagi manusia dan kekuatan akal hanyalah terbatas yang sifatnya relative.
Dan menurut Ahmad Khan bahwasannya keyakinan, kekuatan dan kebebasan akal yang menjadikan manusia menjadi bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatab sesuai yang dia inginkan. Jadi pemikirannya itu mempunyai kesamaan dengan pemikiran Qodariyah, Contohnya manusia telah di anugrai oleh Allah berbagai macam daya, di antaranya adalah daya fakir yang berupa akal, dan daya fikir untuk merealisasikan kehendak yang di inginkannya. Dan barang siapa yang percaya terhadap hukum alam dan kuatnya mempertahankan konsep hukum alam ia di anggap sebagai orang yang kafir.
Umat Islam yang berdomisili di India mengalami kemerosotan dan kemunduran sebagai mana yangdi kemukakan oleh Ahmad Kahn yaitu di karenakan mereka tidak mengikuti perkembangan zaman yang sedang berlangsung mereka cenderung mengikuti pendahulu mereka, tetapi bahwasanya ia menentang keras dengan faham Taklid, sebagaimana yang dianut dalam faham Qodariyah. Dan juga sebab kemunduran Islam di India dikarenakan mereka terlena dengan gaung peradapan Islam klasik sehingga mereka tidak menyadari bahwa peradapan baru telah tumbuh dan bermunculan di Barat. Timbulnya peradapan serta kemajuan ini di dasari oleh Ilmu pengetahuan dan teknologi pada orang-orang Barat tersebut.
Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat dan Nature ( sunnatullah )bagi setiap mahkluk-Nya yangtetap dan tidak berubah. Menurutnya Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam dan Al-quran adalah firman-Nya. Maka sudah barang tentu sejalan dan tidak ada pertentangan. Dia tidak mau dalam suatu pemikirannya terganggu dan terbatasi oleh orentasi Hadist dan Fiqih, di karenakan segala sesuatu diukur dengan kritik rasional, serta menolak segala yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil Al-qur’an sebagai landasan dan pedoman Islam, sedang yang lainnya hanyalah membantu dan kurang begitu penting. Contohnya, atas penolakan Hadist dikarenakan berisi moralitas Masyarakat Islam pada abad pertama ataupun pada abad ke dua sewaktu Hadist dikumpulkan dan dikodifikasikan. Sedangkan hukum Fiqih menurutnya berisi tentang moralitas masyarakat sampai saat timbulnya mazhab – mazhab dan menolak taqlid. Sebagai konskuensi dari penolakan taqlid tersebut Khan memandang perlu sekali untuk di adakannya ijtihad – ijtihat baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran – ajaran Islam dengansituasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
- M. Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot tahun 1873 dan berasal dari kasta brahmana khasmir dari seorang ayah yang bernama Nur Muhammad yang yang menjadi guru pertamanya.
M.Iqbal lebih dikenal sebagai seorang filosof eksistensialis daripada seorang teolog, sehingga agak sulit untuk menemukan pandangannya mengenai wacana kalam, namun ia sering menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah islam.Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang bersifat statis. Menurut dia Islam, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan social manusia. Menurutnya tujuan diturunkannya Al-qur’an adalah untukmembangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menerjemahkan nas-nas Al-Qur’an yang masih globaldalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah.
Diantara pemikirannya dalam kalam yaitu tentang teologi, dia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan dan mendasarkan pada esensi tauhid. Dalam membuktikan eksistensi Tuhan Iqbal menolak kosmologis, ontologis maupun argument teleologis. Dalam setiap kuliahnya iqbal secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif, sedangkan tentang surga dan nerak adalah keadaan bukan tempat dan gambaran keduanya didalam Al-Qur’an adalah penampila-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya.
8. Pemikiran Ilmu Kalam Masa Kini
- Ismail al-Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir. Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhandan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
- Hasan Hanafi
Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisiobal, Hanafi menegasjan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu :
v Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengaj pertarungan globalisasi ideologi.
v Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.
v Keperingan teologi yang bersifat praktis yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu : Pertama, analisis bahasa, hal ini karena bahasa merupakan warisan nenek moyang yang merupakan tradisikhas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Kedua, analisis sosial, hal ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu.
- H.M Rasyidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan teologi. Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian mengandung beberapa aspek ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga teologi kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu Kalam. Tentang akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengatahui baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini sedikit banyaknya mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di Indonesia
- Harun Nasution
Secara garis besar pemikiran mengarah kepada pemikiran Muktazillah yang menunut kepada peranan akal dalam kehidupan manusia. Dalam salah satu bukunya ia berpendapat bahwa akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Hal ini dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.
Dalam hal pembaharuan teologi, ia sependapat dengan pandangan kaum modernis yang berpendapat bahwa perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati untuk bangkit dari keterpurukan dan kemunduran ummat Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan ummat Islam yang lebih cenderung dengan teologi fatalistik, serta menyerahkan nasib telah membawa nasib mereka menuju kemunduran.
Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah terdahulu. Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al Qur’an. Oranga yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah heran kalau Sirajudin Abbas berpendapat bahwa Kaum Muktazillah banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
Dari keempat pemikiran sebagaimana disebutkan diatas setidaknya dapat kita pahami bahwa masing masing tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari pemikiran kalam dimasa lalu. HM. Rasyidi misalnya pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiytah yang dibangun oleh al Imam Asy’ari dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun Nasution dan Hasan Hanafi yang pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan Qadariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir atau nasib dalam kehidupan di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Rosihon Anwar, Mag dan Drs Abdul Rozak, M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2003.
KH. Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Jakarta, Pustaka Tarbiyah. 1978.
http://id.wikipedia.org/wiki/HM Rasjidi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar