Kamis, 17 November 2011

Cerpen Labirin Boneka Kuncung


SINOPSIS
Labirin Boneka Kuncung

Cerpen ini menceritakan tentang kisah seorang gadis yang bernama “Nin” dimana gadis tersebut sangat membenci dan trauma terhadap kuncung. Kuncung yaitu bayi jagung (baby corn) atau jagung muda.
Sampai suatu ketika Nin benar-benar merasa di teror dengan kehadiran kuncung-kuncung yang berserak di depan pintu rumahnya tiap pagi. Rasa bencinya pada kuncung membuat ia merasa mual, jijik jika mendengar apalagi menyentuh kuncung. Hingga selama 20 tahun Ia tak pernah mau menyentuh kuncung lagi. tiap kali mendengar kuncung disebut, Nin merasa ada boneka-boneka kuncung yang menari di udara. Tertawa-tawa dan membentuk sebuah labirin yang siap memagut sukma dan melesapkannya di dalamnya, hingga tak berbekas. Meski boneka-boneka kuncung pernah menjadi mainan kesukaannya ketika Ia kecil. Namun rasa suka itu berubah ketika Ibu Nin meninggalkannya bersama boneka-boneka kuncung di pasar sendirian, hingga akhirnya Nin tinggal bersama seorang pengemis tua dan hidup menggelandang.
Juga rasa benci yang kian mendalam ketika Ia mendengar cerita masa lalu Ibunya dari Sukri. Teman kerja Ibunya, sesama buruh tani. Dimana Lastri Ibu Nin adalah wanita berlesung pipi yang sangat menarik mata banyak lelaki, hingga ladang jagung lah yang harus menjadi saksi atas muasal Nin lahir ke dunia ini. Entah berapa banyak lelaki yang bisa disebut sebagai Ayah Nin. Sukri hanya bercerita bahwa Lastri digiring beberapa laki paruh baya di ladang jagung. Dan beberapa bulan kemudian perut Ibunya mulai membesar.
Beberapa tahun setelah Nin menikah, Nin berusaha untuk melupakan kebenciannya terhadap kuncung. Dan berusaha menerima kembali kehadiran kuncung sebagai sayur mayur di rumahnya atas permintaan suaminya. Ketika Nin sudah mulai melupakan akan masa lalunya pada kuncung. Teror kuncung itu kembali datang ke rumah Nin. Dan ternyata yang meletakkan kuncung-kuncung dirumahnya adalah perempuan berlesung pipi yang sangat Ia kenal...


Labirin Boneka Kuncung

          Subuh berembun. Pandanganku tergiring pada kuncung-kuncung berserakan ketika kubuka pintu rumahku. Kupikir sepagi ini, siapa yang mengotori rumahku dengan kuncung segar yang nampaknya baru saja di petik. Jika kiriman atau pemberian orang, kenapa tak dibungkus plastik atau kardus juga semacamnya? Kenapa pula mesti berserak tak karuan? Anehnya, rambut-rambut kuncung itu tampak dihias—diikat dengan pita merah, bahkan ada pula yang dikepang.
          Ah...apa guna terlalu kupikirkan. Toh itu hanya kuncung. Bukan bom ataupun kotoran yang sengaja dibuang di depan pintu rumahku. Tak cukup membahayakan ataupun menjijikkan. Mungkin orang iseng yang sengaja meletakkannya di rumahku. Boleh jadi mainan orang gila yang suka nongol di trotoar utara rumah yang terkadang suka tidur di depan ruko-ruko yang sudah gulung tikar. Sudahlah. Aku sudah tak begitu peduli dengan kuncung. Aku sudah lama melupakan hal yang berkaitan dengan kuncung.
***
          Aku masih memegang tumpukan piring kotor, ketika suamiku menelepon dari kantor. Katanya Ia rindu masakan ibunya di kampung. Sayur bening bayam dicampur kuncung ranum. Sebenarnya aku benci melihat kuncung termasuk mendengar namanya disebut. Ini bukan kali pertama suamiku minta sayur bayam yang dicampur dengan kuncung. Bulan awal pernikahan kami, adalah awal yang membuat rumah tanggaku terseok-seok.
          Kala itu, kami berdua libur kerja. Kami hanya menghabiskan pagi dan siang di ranjang. Usai melunasi percintaan, mungkin suamiku lapar. Tiba-tiba saja ia ingat akan masakan ibunya—sayur bening bayam di tambah kuncung lengkap dengan sambal terasi dan tempe goreng.  Ia memintaku untuk memasaknya. Namun aku hanya membuatkannya sayur bayam tanpa kuncung. Ia marah. Jelas sangat marah. Suamiku sendiri yang menghentikan tukang sayur di depan rumah. Banyak kuncung setengah kiloan yang terbungkus rapi di plastik bening dalam gerobak lusuh tukang sayur. Kami bertengkar di depan tukang sayur. Suamiku ngotot ingin membeli. Sedang aku bersikeras untuk tak membelinya. Karena malu pada tukang sayur, suamiku mengalah dan hanya membeli beberapa potong tempe dan bayam. Di sepanjang sore ia terus mengunci mulutnya. Seperti mengulum permen yang tak habis-habis, Ia terus mecucu. Masakanku tak disentuhnya sama sekali. Ia menyibukkan diri di depan komputer. Aku menegurnya pelan, “Masakanku sudah matang sedari tadi, tapi kau tak menyentuhya barang sedikitpun.”
“Yang ku minta sayur bayam dengan kuncung, bukan tanpa kuncung.
“Sudah ku bilang, aku benci kuncung. Aku tak mau menyentuhnya. Kenapa kau tak juga mengerti?”
“Kau ini kenapa? Hanya kuncung saja kau benci. Malah bikin ribut dengan tukang sayur. Memalukan. Dikira aku tak mampu membelikanmu sebungkus kuncung. Tau?! Jika kau masih tetap dengan pendirianmu yang tak logis itu, lebih baik aku pulang ke kampung. Biar Ibu yang masak buat aku.”
“Jangan Mas! Selama dua puluh tahun aku tak pernah memakan atau menyentuh kuncung lagi dan seumur hidup aku tak mau menyentuhnya lagi. Mas tahu itu kan?” Jawabku sesenggukan. Seakan mengingat-ingat sesuatu, diam-diam ia sadar tentang kebencianku pada kuncung. Suamiku mengangguk dan memelukku.
***
          Dua puluh tahun lalu, Ibu selalu memberikan aku kuncung dari ladang jagung yang belum siap panen. Hampir tiap pagi aku ikut Ibu ke ladang, tiap itu pula Ibu membuatkan mainan boneka dari kuncung dengan rambut yang diikat dan dikepang sebagai pengganti boneka Barbie yang pernah kuminta dari Ibu. Karena tak mampu membeli. Ibu membuatkanku boneka dari kuncung. Aku sangat menyukainya kala itu. 
          Ibu mengajariku memetik jagung yang masih sangat muda, atau orang-orang kampungku biasa menyebutnya kuncung. Ibu juga mengajariku cara menata rambut jagung muda itu; dikepang, sanggul, atau dikucir. Setelah itu aku akan mencari sebatang kayu yang kubasahi dengan lumpur tanah liat bekas gundukan rumah yuyu untuk melukis mata, hidung dan bibir pada bagian bawah rambut kuncung sebagai wajah.
          Aku senang ketika diajak Ibu ke ladang jagung. Selain di situ, aku tak pernah keluar rumah. Ibu tak pernah memperbolehkanku. Pernah suatu ketika aku nekat keluar membeli es lilin di warung sebelah. Tapi Ibu menyeretku. Setelah sesaat terdengar suara orang kampung mencibirku.
“Hei anak haram, berapa banyak jumlah bapakmu?!” Disusul gelak tawa yang pecah di antara mereka.
Ibu memukuli pantatku dengan rotan yang biasa digunakan untuk pemukul kasur ketika di jemur. Memar berhari-hari pun tak kunjung hilang.
“Gara-gara kau lahir ke dunia ini. Aku jadi menderita. Dasar anak tak jelas! ”  kata-kata itu masih terngiang jelas dalam ingatanku. Meski saat itu aku tak mampu memahami tuturan Ibu. Tutur kata yang tak seharusnya dilontarkan Ibu pada anaknya yang masih berumur enam tahun.
          Pagi masih gelap. Seperti biasa aku menemani Ibu pergi ke ladang. Pagi itu Ibu tak berlama-lama di ladang. Ia hanya memetik beberapa kuncung dan mendandani rambutnya dengan pita juga dikepang, lalu memasukkannya ke dalam plastik hitam yang ia berikan padaku. Sambil mengikuti langkah Ibu aku memainkan boneka-boneka dari kuncung yang dibuatkan Ibu. Ada yang kuberi nama Leona, Lusi, Mimi, juga Berry dan masih banyak lagi kuncung-kuncung di dalam plastik yang belum sempat kuberi nama. Mendadak Ibu berhenti disudut pasar.
“Sebentar Nak, Ibu beli gulali untukmu. Kau tunggu di sini ya....!” ucap Ibu sangat manis dengan lesung pipi yang melekuk di pipi kirinya.
          Aku terus menunggu Ibu sampai senja habis. Lapak-lapak tutup. Orang-orang mulai menghilang satu per satu. Kios-kios pasar juga sudah mulai kukut. Aku celingukan. Tinggal aku seorang di pasar ini. Keringatku bercucuran. Kuncung yang aku pegang jatuh menghambur ke tanah. Aku takut. Sangat takut. Aku panggil nama Ibu berkali-kali. Tak ada sahutan. Aku memekik makin keras. Tak ada yang mendengarku. Aku meronta dan menjerit. Segelintir orang yang masih lewat, menanyaiku dengan berbagai macam pertanyaan. Dan hanya kujawab dengan dua patah kata, “Ibuku hilang...” Sebagian lagi ada yang ingin mengajakku pulang. Aku menolak. Hingga kulihat seorang perempuan tua dengan tulus menghibur dan menggendongku pulang ke rumahnya. Mungkin bukan selayaknya rumah. Hanya sebaris papan dan sebuah ranjang kayu. Perempuan tua itu seorang pengemis pasar. Bersama dia lah selama berpuluh tahun aku tinggal sekaligus menggelandang di jalanan. Sesudah Ia meninggal, aku bermaksud mencari Ibu kandungku di kampung tempat aku lahir. Tapi orang-orang kampung, lagi-lagi  mencibirku.
“Ibumu minggat Nin....nyari laki baru kali....di ladang jagung!”
          Di tempat lain aku bertemu dengan Sukri, buruh tani yang pernah bekerja bersama Ibuku dan beberapa perempuan lain di desaku yang juga bekerja sebagai buruh tani juragan Gandon. Juragan Gandon adalah orang yang paling berkuasa di desaku. Hampir seluruh persawahan dan ladang di desaku adalah miliknya. Dan hampir seluruh perempuan di desaku dijadikan sebagai istri simpanannya yang disembunyikan di rumah lumbung padi.
“Untuk apa kau mencari Ibumu Nin? Ibumu sudah lama pergi dari kampung. Kau tahu ladang jagung yang ada di sebelah utara desa kita itu?” ujar Sukri sembari menunjuk arah utara lantas tetap melanjutkan ceritanya.
“Dulu ketika masih perawan, Lastri sangat menarik. Lekukan kecil di pipi yang menghias senyumnya, juga pinggul dan dadanya banyak memikat mata lelaki. Di tambah sikapnya yang selalu kenes terhadap semua orang membuat beberapa lelaki di kampung ini sering mengintai gerak-geriknya. Termasuk aku yang kala itu belum khitan. Jadi wajar saja, jika nasib Ibumu akhirnya tidak jelas.”
“Maksudmu Suk?”
“Waktu itu kulihat Ibumu menurut saja, ketika beberapa laki-laki paruh baya menggiringnya ke ladang jagung. Katanya ia diminta untuk memanen jagung-jagung di bagian utara. Tapi entah kenapa sampai sore aku tak melihat Ibumu kembali. Hingga matahari tak nampak, aku memutuskan untuk pulang. Esoknya kudengar kabar tak sedap tentang Lastri, awalnya aku tak percaya. Tapi beberapa bulan kemudian...Ibumu dikucilkan beberapa warga karena perutnya mulai membesar.”
“Cukup Suk...aku tak bisa mendengarnya lagi.”
          Aku tak mau lagi mendengar cerita tentang ladang jagung. Jijik, perutku rasanya mual. Ingin muntah—memuntahkan masa lalu. Tentang kuncung dan ladang jagung. Entah berapa lelaki yang menyebabkan aku lahir kedunia ini.
***
          Aku tersentak. Kaget. Ketika kali ketiga kutemukan kuncung-kuncung berserakan kembali di depan rumahku. Sudah setahun ini aku mulai menerima kehadiran kuncung sebagai sayur mayur di rumahku atas permintaan suamiku. Namun tidak lagi untuk kali ini. Kuncung-kuncung itu serasa menerorku. Aku hampir depresi dibuatnya. Karena tiap kali melihat kuncung, masa laluku seperti terburai di depan mata. Boneka kuncung itu seakan melayang-layang di udara sambil tertawa dan membentuk sebuah labirin yang siap memagut sukmaku dan melesapkanku di dalamnya. Aku sangat takut dan muak. Suamiku memapahku ke dalam kamar. Mencoba menenangkanku dengan memberikan secangkir teh hangat.
          “Sudahlah Nin...kau istirahat saja! Kuncung-kuncung itu biar aku yang urus. Tiap malam aku akan pantau dan tidur di sofa ruang tamu. Akan aku selidiki siapa yang meletakkan kuncung-kuncung itu di depan pintu rumah kita. Aku janji akan kuhajar dia, atau kalo perlu kulaporkan ke kantor polisi. Supaya jelas perkaranya. Untuk apa dia meletakkan kuncung-kuncung itu di depan rumah kita?!” Sehari, dua hari, satu minggu tidak ada kuncung lagi di depan pintu rumah. Kami lelah berjaga-jaga.
***
             Deras. Hujan mengucur sedari senja tak jua berhenti. Aku tak dapat tidur. Suamiku sudah pulas. Jarum jam sudah melewati angka satu dini hari. Ah...imsomniaku mulai merajuk. Jika sudah begini. Pikiranku akan terhanyut kemana-mana. Seperti mendengar suara-suara yang aneh. Juga suara perabot yang tampak berdebam tak jelas. Ah halusinasiku yang sedang ketakutan. Untung ada suamiku di sampingku, rasa takutku jadi sedikit berkurang dengan memeluknya. Meski pelukanku hanya akan dijawab dengan dengkuran yang makin keras.
          Suara debaman itu makin jelas. Ke arah pintu rumahku. Kupasang telingaku baik-baik. Suaranya makin jelas. Kubangunkan suamiku untuk segera melihat ke arah pintu. Pintu di buka pelan, berderit. Kuncung-kuncung terburai ke tanah. Seorang perempuan tua beruban dengan tatapan terhenyak. Ada lekukan kecil di pipi kirinya yang sudah mulai keriput. Matanya beradu dengan mataku. Sunyi. Tak ada suara yang saling memadu. Aku seperti mengenal wajahnya... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar